Gambar candi Singashari |
Menurut kitab Pararaton dan Nagarakertagama, raja pertama kerajaan Singasari adalah sri Ranggah Rajasa Amurwabhumi yang populer dipanggil Ken Arok. Ken Arok adalah anak seorang Brahmana bernama Gajah Para dengan Ibu bernama Ken Endok dari desa Pangkur, yang semula berprofesi sebagai pencuri/penyamun yang sangat sakti dan selalu menjadi buronan alat-alat negara. Atas bantuan seorang pendeta yang menjadikannya sebagai anak pungut, ia dapat mengabdi kepada seorang kuwu (setara bupati) yang bernama Tunggul Ametung. Namun kuwu itu kemudian dibunuhnya dan si janda, Ken Dedes dalam kondisi hamil dikimpoiinya, yang mana anak itu nantinya diberi nama Anusapati.
Raja Kertajaya berusaha menindak Ken
Arok, tapi dalam pertempuran di Genter pada tahun 1222 Ken Arok menang dan
menjadi raja Tumapel dan Kediri, yang ber-ibukota di Kutaraja. Dari Ken Dedes
selain mempunyai anak tiri Anusapati, ia juga mempunyai anak yang diberi nama
Mahisa Wonga Teleng. Sedangkan dari isteri lain, Ken Umang, ia mempunyai anak
yang diberi nama Tohjaya.
Silsilah Wangsa Rajasa |
Dalam tahun 1227 Ken Arok dibunuh
anak tirinya, Anusapati, yang menggantikannya sebagai raja. Lalu untuk
mengenang Ken Arok, dibuatkan candi di Kagenengan (sebelah selatan Singasari)
dalam bangunan suci agama Siwa dan Buda. Sedangkan Ken Dedes yang tidak
diketahui tahun meninggalnya, diperkirakan dibuatkan arca sangat indah yang
diketemukan di Singosari, yaitu arca Prajnaparamita.
Anusapati/Anusanatha yang memerintah
tahun 1227-1248 dengan aman dan tenteram, dibunuh oleh Tohjaya dengan suatu
muslihat, dan untuk itu Anusapati dimuliakan di candi Kidal (sebelah tenggara
Malang). Namun Tohjaya hanya memerintah beberapa bulan, karena aksi balas
dendam dari anak Anusapati yaitu Rangga Wuni. Tohjaya melarikan diri, namun
karena luka-lukanya ia meninggal dunia, dan dicandikan di Katang Lumbang.
Di tahun 1248 Rangga Wuni naik
takhta dengan gelar sri Jaya Wisnu Wardhana, dan raja Singasari pertama yang
namanya dikekalkan dalam prasasti, dan ia memerintah bersama sepupunya, Mahisa
Campaka (anak dari Mahisa Wonga Teleng), diberi kekuasaan untuk ikut memerintah
dengan pangkat Ratu Angabhaya bergelar Narasimhamurti.
Silsilah Kertajaya |
Dikisahkan bahwa mereka memerintah
bagai dewa Wisnu dan dewa Indra. Anak Rangga Wuni, Kertanagara, di tahun 1254
dinobatkan sebagai raja, namun ia tetap memerintah terus untuk anaknya, sampai
dengan wafatnya dalam tahun 1268 di Mandaragiri, lalu dicandikan di Waleri
dalam perwujudannya sebagai Siwa dan di Jayaghu (candi Jago) sebagai Buddha
Amoghapasa.
Yang menarik, candi Jago berkaki
tingkat tiga tersusun semacam limas berundak-undak dan tubuh candinya terletak
di bagian belakang kaki candi menunjukkan timbulnya kembali unsur-unsur
Indonesia, disamping terlihat pula dari relief reliefnya dengan pahatan datar,
gambar-gambar orang yang mirip wayang kulit Bali saat ini, dan para
kesatriyanya diikuti punakawan (bujang pelawak).
Kertanagara sebagai raja Singasari
dibantu oleh 3 orang mahamantri (rakryan I hino, I sirikan dan I halu) dan para
menteri pelaksana (rakryan apatih, demung dan kanuruhan), serta seorang
dharmadhyaksa ri kasogatan yang mengurusi keagamaan (kepala agama Buda) dan
seorang pendeta yang mendampingi raja, yaitu seorang mahabrahmana dengan
pangkat sangkhadhara.
Karena ia bercita-cita meluaskan
wilayah kekuasaan, maka ia menyingkirkan tokoh tokoh yang dianggapnya
menentang/menghalangi, yaitu patihnya sendiri bernama Arema/ Raganatha
dijadikan adhyaksa di Tumapel yang diganti oleh Kebo Tengah/Aragani, lalu Banak
Wide yang ditugaskan menjadi Bupati Sungeneb (Madura) bergelar Arya Wiraraja.
Di tahun 1275 Kertanagara mengirim
pasukan ke Sumatera Tengah yang terkenal dengan nama Pamalayu dan berlangsung
sampai tahun 1292, dimana saat pasukan tiba kembali, Kertanagara sudah tidak
ada lagi. Namun prasasti pada alas kaki arca Amoghapasa yang diketemukan di
Sungai Langsat (hulu sungai Batanghari dekat Sijunjung), diterangkan bahwa di
tahun 1286 atas perintah Maharajadhiraja Sri Krtanagara Wikrama
Dharmottunggadewa, sebuah arca Amoghapasa beserta 13 arca pengikutnya
dipindahkan dari bhumi Jawa ke Suwarnabhumi. Atas hadiah ini rakyat Malayu
sangat senang terutama sang raja, yaitu srimat Tribuwanaraja Maulawarmmadewa.
Kertanagara pada tahun 1284
menaklukkan Bali, Pahang, Sunda, Bakulapura (Kalimantan Barat Daya) dan Gurun
(Maluku), sebagaimana diketahui dari Nagarakrtagama. Selain itu, dengan Campa
diadakan persekutuan yang diperkuat dengan perkimpoian, sesuai prasasti Po Sah
(di Hindia belakang) yang menuliskan bahwa raja Jaya Simphawarman III mempunyai
dua permaisuri yang salah satunya dari Jawa (mungkin saudara Kertanagara).
Sejak tahun 1271 di Kediri ada raja
bawahan, yaitu Jayakatwang yang bersekutu dengan Wiraraja dari Sungeneb yang
selalu memata-matai Kertanagara. Belum kembalinya pasukan Singasari dari
Sumatra dan adanya insiden dengan Kubilai Khan dari Tiongkok, atas petunjuk dan
nasehat Wiraraja dalam tahun 1292 Jayakatwang melancarkan serbuan ke Singasari
melalui utara untuk membuat gaduh dan dari selatan merupakan pasukan induk.
Kertanagara mengira serangan hanya dari utara, maka ia mengutus Raden Wijaya
(anak Lembu Ta, cucu Mahisa Campaka) dan Arddharaja (anak Jayakatwang) untuk
memimpin pasukan ke utara., sedangkan yang dari selatan berhasil memasuki kota
dan Karaton, dimana saat itu Kertanagara sedang minum berlebihan bersama dengan
mahawrddhamantri serta dengan para pendeta terkemuka dan pembesar lain, yang
katanya sedang melalukan upacara Tantrayana, terbunuh semuanya, dimana
Kertanagara dimuliakan di candi Jawi sebagai Siwa dan Budda di Sagala sebagai
Jina/Wairocana bersama sang permaisuri Bajradewi dan di candi Singosari sebagai
Bhairawa.
Sebagaimana Prasasti tahun 1289 pada
lapik arca Joko Dolok yang diketemukan di Surabaya, Kertanagara adalah seorang
pengikut setia agama Buda Tantra dan dinobatkan sebagai Jina (Dhyani Buddha)
yang bergelar Jnanasiwabajra, yaitu sebagai Aksobhya dimana Joko Dolok itu
adalah arca perwujudannya sendiri. Sedangkan dalam Pararaton dan berbagai
Prasasti, setelah wafat dinamakan Siwabuddha, dimana dalam kitab Nagarakrtagama
dikatakan Siwabuddhaloka.
RUNTUHNYA SINGASARI
RUNTUHNYA SINGASARI
Setelah meruntuhkan kerajaan Tang,
orang-orang Mongol kemudian mendirikan sebuah pemerintahan baru yang diberi
nama Sung (Song). Salah satu anak Jenghis Khan, sang penakluk kerajaan Cina,
bernama Kublai Khan menjadi raja pertamanya. Keinginan untuk memperluas
pengaruh bangsa Mongol setelah menjajah Cina adalah menundukkan
kerajaan-kerajaan lain di wilayah Asia Tenggara dan Asia Timur dengan
menggunakan kekuatan militer dan politik.
Caranya dengan meminta para penguasa
lokal untuk mengakui kaisar Mongol sebagai penguasa tunggal dan mengharuskan
raja-raja lokal tersebut untuk mengirim upeti (tribute) kepada kaisar Cina.
Salah satunya adalah ke Jawa yang kala itu diperintah oleh Raja Kartanagara
dari kerajaan Singhasari.
Untuk maksud tersebut, Kublai Khan
mengirim seorang utusan bernama Meng Chi ke Jawa meminta raja Kartanagara untuk
tunduk di bawah kekuasaan Cina. Merasa tersinggung, utusan itu dicederai
wajahnya oleh Kartanagara dan meingirimnya pulang ke Cina dengan pesan tegas
bahwa ia tidak akan tunduk di bawah kekuasaan raja Mongol. Perlakuan
Kartanegara terhadap Meng Chi dianggap sebagai penghinaan kepada Kublai Khan.
Sebagai seorang kaisar yang sangat berkuasa di daratan Asia saat itu, ia merasa
terhina dan berniat untuk menghancurkan Jawa yang menurutnya telah
mempermalukan bangsa Mongol.
Peristiwa penyerbuan ke Jawa ini
dituliskan dalam beberapa sumber di Cina dan merupakan sejarah yang sangat
menarik tentang kehancuran kerajaan Singhasari dan munculnya kerajaan
Majapahit, seperti yang dapat kita baca dalam buku nomor 162 dari masa
pemerintahan Dinasti Yuan yang terjemahannya dapat dibaca dalam buku W.P. Groeneveldt
berjudul Historical Notes on Indonesia
and Malaya Compiled from Chinese Sources (1963: 20-31).
Disebutkan bahwa utusan yang dikirim
ke Jawa terdiri dari tiga orang pejabat tinggi kerajaan, yaitu Shih Pi, Ike
Mese, dan Kau Hsing. Hanya Kau Hsing yang berdarah Cina, sedangkan dua lainnya
adalah orang Mongol. Mereka diberangkatkan dari Fukien membawa 20.000 pasukan
dan seribu kapal. Kublai Khan membekali pasukan ini untuk pelayaran selama satu
tahun serta biaya sebesar 40.000 batangan perak. Shih Pi dan Ike Mese
mengumpulkan pasukan dari tiga provinsi: Fukien, Kiangsi, dan Hukuang.
Sedangkan Kau Hsing bertanggung jawab untuk menyiapkan perbekalan dan kapal.
Pasukan besar ini berangkat dari pelabuhan Chuan-chou dan tiba di Pulau
Belitung sekitar bulan Januari tahun 1293. Di sini mereka mempersiapkan
penyerangan ke Jawa selama lebih kurang satu bulan
Perjalanan menuju Pulau Belitung
yang memakan waktu beberapa minggu melemahkan bala tentara Mongol karena harus
melewati laut dengan ombak yang cukup besar. Banyak prajurit yang sakit karena
tidak terbiasa melakukan pelayaran. Di Belitung mereka menebang pohon dan
membuat perahu (boats) berukuran lebih kecil untuk masuk ke sungai-sungai di
Jawa yang sempit sambil memperbaiki kapal-kapal mereka yang telah berlayar
mengarungi laut cukup jauh.
Pada bulan kedua tahun itu Ike Mese
bersama pejabat yang menangani wilayah Jawa dan 500 orang menggunakan 10 kapal
berangkat menuju ke Jawa untuk membuka jalan bagi bala tentara Mongol yang
dipimpin oleh Shih Pi. Ketika berada di Tuban mereka mendengar bahwa raja
Kartanagara telah tewas dibunuh oleh Jayakatwang yang kemudian mengangkat
dirinya sebagai raja Singhasari.
Oleh karena perintah Kublai Khan
adalah menundukkan Jawa dan memaksa raja Singhasari, siapa pun orangnya, untuk
mengakui kekuasaan bangsa Mongol, maka rencana menjatuhkan Jawa tetap
dilaksanakan. Sebelum menyusul ke Tuban orang-orang Mongol kembali berhenti di
Pulau Karimunjawa untuk bersiap-siap memasuki wilayah Singhasari. Setelah
berkumpul kembali di Tuban dengan bala tentara Mongol.
Diputuskan bahwa Ike Mese akan
membawa setengah dari pasukan kira-kira sebanyak 10.000 orang berjalan kaki
menuju Singhasari, selebihnya tetap di kapal dan melakukan perjalanan
menggunakan sungai sebagai jalan masuk ke tempat yang sama. Sebagai seorang
pelaut yang berpengalaman, Ike Mese, yang sebenarnya adalah suku Uigur dari
pedalaman Cina bukannya bangsa Mongol, mendahului untuk membina kerja sama
dengan penguasa-penguasa lokal yang tidak setia kepada Jayakatwang.
Menurut cerita Pararaton, kedatangan
bala tentara Mongol (disebut Tartar) adalah merupakan upaya Bupati Madura, Aria
Wiraraja, yang mengundangnya ke Jawa untuk menjatuhkan Daha. Aria Wiraraja
berjanji kepada raja Mongol bahwa ia akan mempersembahkan seorang puteri cantik
sebagai tanda persahabatan apabila Daha dapat ditundukkan. Surat kepada raja
Mongol disampaikan melalui jasa pedagang Cina yang kapalnya tengah merapat di
Jawa (Pitono, 1965: 44).
Armada kapal kerajaan Mongol
selebihnya dipimpin langsung oleh Shih Pi memasuki Jawa dari arah sungai Sedayu
dan Kali Mas. Setelah mendarat di Jawa, ia menugaskan Ike Mese dan Kau Hsing
untuk memimpin pasukan darat. Beberapa panglima “pasukan 10.000-an” turut
mendampingi mereka. Sebelumnya, tiga orang pejabat tinggi diberangkatkan
menggunakan ‘kapal cepat’ menuju ke Majapahit setelah mendengar bahwa pasukan
Raden Wijaya ingin bergabung tetapi tidak bisa meninggalkan pasukannya. Melihat
keuntungan memperoleh bantuan dari dalam, pasukan Majapahit ini kemudian dijadikan
bagian dari bala tentara kerajaan bangsa Mongol.
Untuk mempermudah gerakan bala
tentara asing ini, Raden Wijaya memberi kebebasan untuk menggunakan
pelabuhan-pelabuhan yang ada di bawah kekuasaannya dan bahkan memberikan
panduan untuk mencapai Daha, ibukota Singhasari. Ia juga memberikan peta
wilayah Singhsari kepada Shih Pi yang sangat bermanfaat dalam menyusun strategi
perang menghancurkan Jayakatwang.
Selain Majapahit, beberapa kerajaan
kecil (mungkin setingkat provinsi di masa sekarang) turut bergabung dengan
orang-orang Mongol sehingga menambah besar kekuatan militer sudah sangat kuat
ketika berangkat dari Cina. Persengkongkolan ini terwujud sebagai ungkapan rasa
tidak suka mereka terhadap raja Jayakatwang yang telah membunuh Kartanegara
melalui sebuah kudeta yang keji.
Pada bulan ketiga tahun 1293,
setelah seluruh pasukan berkumpul di mulut sungai Kali Mas, penyerbuan ke
kerajaan Singhasari mulai dilancarkan. Kekuatan kerajaan Singhasari di sungai
tersebut dapat dilumpuhkan, lebih dari 100 kapal berdekorasi kepala raksasa
dapat disita karena seluruh prajurit dan pejabat yang mempertahankannya
melarikan diri untuk bergabung dengan pasukan induknya.
Peperangan besar baru terjadi pada
hari ke-15, bila dihitung semenjak pasukan Mongol mendarat dan membangun
kekuatan di muara Kali Mas, di mana bala tentara gabungan Mongol dengan Raden
wijaya berhasil mengalahkan pasukan Singhasari. Kekalahan ini menyebabkan sisa
pasukan kembali melarikan diri untuk berkumpul di Daha, ibukota Singhasari.
Pasukan Ike Mese, Kau Hsing, dan Raden wijaya melakukan pengejaran dan berhasil
memasuki Daha beberapa hari kemudian. Pada hari ke-19 terjadi peperangan yang
sangat menentukan bagi kerajaan Singhasari.
Dilindungi oleh lebih dari 10.000 pasukan raja Jayakatwang berusaha memenangkan pertempuran mulai dari pagi hingga siang hari. Dalam peperangan ini dikatakan bahwa pasukan Mongol menggunakan meriam yang pada zaman itu masih tergolong langka di dunia.
Dilindungi oleh lebih dari 10.000 pasukan raja Jayakatwang berusaha memenangkan pertempuran mulai dari pagi hingga siang hari. Dalam peperangan ini dikatakan bahwa pasukan Mongol menggunakan meriam yang pada zaman itu masih tergolong langka di dunia.
Terjadi tiga kali pertempuran besar
antara kedua kekuatan yang berseteru ini di keempat arah kota dan dimenangkan
oleh pihak para penyerbu. Pasukan Singhasri terpecah dua, sebagian menuju
sungai dan tenggelam di sana karena dihadang oleh orang-orang Mongol, sedang
sebagian lagi sebanyak lebih kurang 5.000 dalam keadaan panik akhirnya terbunuh
(slain = bantai) setelah bertempur dengan tentara gabungan Mongol-Majapahit.
Salah seorang anak Jayakatwang yang melarikan diri ke perbukitan di sekitar
ibukota dapat ditangkap dan ditawan oleh pasukan Kau Hsing berkekuatan seribu orang.
Jayakatwang menyadari kekalahannya, ia mundur dan bertahan di dalam kota yang dikelilingi benteng. Pada sore harinya ia memutuskan keluar dan menyerah karena tidak melihat kemungkinan untuk mampu bertahan.
Kemenangan pasukan gabungan ini menyenangkan bangsa Mongol. Seluruh anggota keluarga raja dan pejabat tinggi Singhasari berikut anak-anak mereka ditahan oleh bangsa Mongol. Sejarah Cina mencatat bahwa sebulan kemudian setelah penaklukan itu, Raden Wijaya memberontak dan membunuh 200 orang prajurit Mongol yang mengawalnya ke Majapahit untuk menyiapkan persembahakn kepada raja Kublai Khan. Adalah Sora dan Ranggalawe, dua panglima perang Majapahit yang sempat membantu orang-orang Mongol menjatuhkan Jayakatwang, melakukan penumpasan itu (Pitono, 1965 46).
Jayakatwang menyadari kekalahannya, ia mundur dan bertahan di dalam kota yang dikelilingi benteng. Pada sore harinya ia memutuskan keluar dan menyerah karena tidak melihat kemungkinan untuk mampu bertahan.
Kemenangan pasukan gabungan ini menyenangkan bangsa Mongol. Seluruh anggota keluarga raja dan pejabat tinggi Singhasari berikut anak-anak mereka ditahan oleh bangsa Mongol. Sejarah Cina mencatat bahwa sebulan kemudian setelah penaklukan itu, Raden Wijaya memberontak dan membunuh 200 orang prajurit Mongol yang mengawalnya ke Majapahit untuk menyiapkan persembahakn kepada raja Kublai Khan. Adalah Sora dan Ranggalawe, dua panglima perang Majapahit yang sempat membantu orang-orang Mongol menjatuhkan Jayakatwang, melakukan penumpasan itu (Pitono, 1965 46).
Setelah itu, dengan membawa pasukan
yang lebih besar, Raden Wijaya menyerang balik orang-orang Mongol dan memaksa
mereka keluar dari Pulau Jawa. Shih Pi dan Kau Hsing yang terpisah dari
pasukannya itu harus melarikan diri sampai sejauh 300 li (± 130 kilometer),
sebelum akhirnya dapat bergabung kembali dengan sisa pasukan yang menunggunya
di pesisir utara. Dari sini ia berlayar selama 68 hari kembali ke Cina dan
mendarat di Chuan-chou.
Kekekalahan bala tentara Mongol oleh orang-orang Jawa hingga kini tetap dikenang dalam sejarah Cina. Sebelumnya mereka nyaris tidak pernah kalah di dalam peperangan melawan bangsa mana pun di dunia. Selain di Jawa, pasukan Kublai Khan juga pernah hancur saat akan menyerbu daratan Jepang. Akan tetapi kehancuran ini bukan disebabkan oleh kekuatan militer bangsa Jepang melainkan oleh terpaan badai sangat kencang yang memporakporandakan armada kapal kerajaan dan membunuh hampir seluruh prajurit di atasnya.
Menjelang akhir bulan Maret, yaitu di hari ke-24, seluruh pasukan Mongol kembali ke negara asalnya dengan membawa tawanan para bangsawan Singhasari ke Cina beserta ribuan hadiah bagi kaisar. Sebelum berangkat mereka menghukum mati Jayakatwang dan anaknya sebagai ungkapan rasa kesal atas ‘pemberontakan’ Raden Wijaya. Kitab Pararaton memberikan keterangan yang kontradiktif, disebutkan bahwa Jayakatwang bukan mati dibunuh orang-orang Mongol melainkan oleh Raden Wijaya sendiri, tidak lama setelah ibukota kerajaan Singhasari berhasil dihancurkan.
Ternyata kegagalan Shih Pi menundukkan Jawa
harus dibayar mahal olehnya. Ia menerima 17 kali cambukan atas perintah Kublai
Khan, seluruh harta bendanya dirampas oleh kerajaan sebagai kompensasi atas
peristiwa yang meredupkan kebesaran nama bangsa Mongol tersebut. Ia
dipersalahkan atas tewasnya 3.000 lebih prajurit dalam ekspedisi menghukum Jawa
tersebut. Kekekalahan bala tentara Mongol oleh orang-orang Jawa hingga kini tetap dikenang dalam sejarah Cina. Sebelumnya mereka nyaris tidak pernah kalah di dalam peperangan melawan bangsa mana pun di dunia. Selain di Jawa, pasukan Kublai Khan juga pernah hancur saat akan menyerbu daratan Jepang. Akan tetapi kehancuran ini bukan disebabkan oleh kekuatan militer bangsa Jepang melainkan oleh terpaan badai sangat kencang yang memporakporandakan armada kapal kerajaan dan membunuh hampir seluruh prajurit di atasnya.
Menjelang akhir bulan Maret, yaitu di hari ke-24, seluruh pasukan Mongol kembali ke negara asalnya dengan membawa tawanan para bangsawan Singhasari ke Cina beserta ribuan hadiah bagi kaisar. Sebelum berangkat mereka menghukum mati Jayakatwang dan anaknya sebagai ungkapan rasa kesal atas ‘pemberontakan’ Raden Wijaya. Kitab Pararaton memberikan keterangan yang kontradiktif, disebutkan bahwa Jayakatwang bukan mati dibunuh orang-orang Mongol melainkan oleh Raden Wijaya sendiri, tidak lama setelah ibukota kerajaan Singhasari berhasil dihancurkan.
Selain itu, peristiwa ini mencoreng wajah Kublai Khan karena untuk kedua kalinya dipermalukan orang-orang Jawa setelah raja Kartanegara melukai wajah Meng Chi. Namun sebagai raja yang tahu menghargai kesatriaan, tiga tahun kemudian nama baik Shih Pi direhabilitasi dan harta bendanya dikembalikan. Ia diberi hadiah jabatan tinggi dalam hirarkhi kerajaan Dinasti Yuan yang dinikmatinya sampai meninggal dalam usia 86 tahun.
Berbeda dengan Sora dan Ranggalawe, setelah berdirinya kerajaan Majapahit mereka justru dihukum mati karena dituduh melakukan makar (memberontak) terhadap Raden Wijaya atas hasutan Mahapati. Termasuk Nambi dan tokoh-tokoh berjasa lainnya yang mempunyai andil besar mendirikan kerajaan baru menggantikan hegemoni Singhasari di Nusantara.
2 komentar
Mantap bro, makasih banyak infonya
terima kasih infonya
Posting Komentar